logo blog
Selamat Datang Di Majapahit Blog
Terima kasih atas kesediaan anda berkunjung di Majapahit Blog ini,
Semoga apa yang Blog ini share dan tulis di sini dapat bermanfaat dan memberikan motivasi pada kita semua
untuk terus berkarya dan berbuat sesuatu yang dapat berguna bagi masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia.

Kitab Wangsakerta itu ternyata Palsu

Majapahit 1478MAJAPAHIT 1478. Berawal dari permintaan seorang sahabat blogger yang meminta saya untuk menguraikan hubungan antara Dyah Pitaloka dengan Dara Petak dan Perang Bubat, mulailah aku mencari referensi ke sana kemari dan akhirnya ketemulah sebuah Kitab Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara karangan Pangeran Wangsakerta dari kerajaan Carbon.

Terus terang saya sangat meragukan kebenaran isi dari kitab tersebut terutama bila kita kaitkan dengan isi beberapa prasasti (terutama prasasti Balawi) ataupun kitab-kitab lainnya (Negarakretagama dan Pararaton). Berawal dari kecurigaan tersebut, akhirnya aku lakukan langkah-langkah googling, dan hasilnya membuat aku mengurungkan niat untuk menulis artikel tersebut, karena sebab yang berikut ini  :


NASKAH ITU TERNYATA PALSU.

SYAHDAN, tersebutlah Pangeran Wangsakerta, putra bungsu Panembahan Adiningkusuma, penguasa Keraton Cirebon pada abad ke-17. Berbeda dengan kedua kakaknya, konon si bungsu lebih suka menggauli ilmu pengetahuan ketimbang soal politik dan kenegaraan.

Pada masa itulah, sekitar 1677, atas desakan politik Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, Cirebon terbelah menjadi tiga. Pangeran tertua, Syamsudin Mertawijaya, diangkat menjadi Sultan Sepuh, dan berkuasa di Keraton Kasepuhan. Adiknya, Pangeran Badridin Kertajaya, dipromosikan menjadi Sultan Anom.

Keduanya punya kedaulatan politik atas sebuah wilayah. Pangeran Wangsakerta, alias Tohpati, sendiri hanya mendapat jabatan fungsional, sebagai panembahan di Puri Keprabonan. Kekuasaan politiknya tak seberapa besar. Tugas utama Wangsakerta adalah menjadi penasihat kedua kesultanan itu.

Namun, Panembahan Wangsakerta lebih terkenal. Ia disebut meninggalkan warisan berupa naskah-naskah sejarah yang disebut Kitab Wangsakerta. Semua naskah itu kini tersimpan di Museum Sejarah Jawa Barat, di Bandung. Sejak dua tahun lalu, sebagian naskah itu telah selesai diterjemahkan dan dibukukan oleh Lembaga Sundanologi, yang bernaung di bawah Kanwil P dan K Jawa Barat.

Namun, banyak ahli yang meragukan keaslian naskah itu. Puncaknya, bulan lalu (September 1988) diselenggarakan diskusi-panel sejarah di Universitas Tarumanagara, Jakarta. Sebagian besar sejarawan dan arkeolog yang hadir dalam diskusi sehari itu menyangsikan Kitab Wangsakerta tersebut.

Naskah itu dianggap terlalu lengkap dan cermat untuk bisa dikatakan berasal dari masa yang hampir 300 tahun silam. Buntutnya, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) menurunkan tim penyidik ke Museum Bandung. Lebih dari separuh naskah Wangsakerta yang ada diambil sebagai contoh penyidikan. Kertas, aksara, dan bahasa dalam naskah itu diteliti secara cermat. Penyidikan itu rampung pekan lalu (bulan Oktober 1988).

Hasilnya, “Naskah-naskah itu palsu,” ujar Drs. Suwendi Montana, ketua tim penyidik Arkenas itu. Drs. Atja, bekas kepala museum sejarah Bandung, adalah orang pertama yang menemukan Kitab Wangsakerta itu, di awal tahun 1970-an. Ketika itu dia tengah mencari bahan acuan untuk menyusun buku Sejarah Cirebon.

Dalam pencarian itu, Atja mengaku bertemu dengan pedagang barang antik yang bersedia memasok buku-buku kuno eks Keraton Cirebon. Lewat pedagang, satu demi satu naskah “tua” itu mengalir ke rak Museum Bandung. Warisan Pangeran Wangsakerta itu ada 52 kitab, terbagi dalam tiga serial.

Yang pertama berjudul Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara (PRBN), 25 buku. Kitab kedua berjudul Negarakretabhumi, juga 25 buku, dan sisanya terangkum pada kitab Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa. Naskah-naskah itu, konon, disusun oleh sebuah panitia yang beranggotakan cendekiawan dari berbagai negeri yang diundang dan diketuai oleh Wangsakerta.

Arkeolog senior UI, Boechari, 61 tahun, sempat terperanjat membaca kitab PRPBN temuan Atja itu. Ada keanehan di situ. Raja Mataram Kuno, Panangkaran, yang berkuasa di akhir abad ke-8, disebut dengan nama Sri Maharaja Tejahpurnapana Panangkaran. Padahal, nama lengkap putra Prabu Sanjaya itu baru dikenal dalam khazanah sejarah tahun 1950. Sebelumnya, sejarah mencatat nama raja Mataram itu sebagai Dyah Pancapanna Panangkara.

Nama baru itu terungkap dari penelitian sejarawan Belanda, De Casparis, untuk disertasinya, setelah ia mempelajari bukti-bukti sejarah terbaru. Boechari mencatat, dalam banyak hal Kitab Wangsakerta itu sejalan dengan teori-teori De Casparis. Yang lebih aneh, bahkan penyusun Wangsakerta itu juga melakukan kekeliruan yang sama dengan apa yang pernah dibuat oleh De Casparis, yang terungkap setelah ditemukan bukti baru.

Boechari mengupas sejumlah kejanggalan lain. Lantaran banyak keanehan itu, ahli epigrafi dari UI itu sudah lama yakin betul bahwa naskah-naskah Wangsakerta itu palsu. “Ini skandal ilmiah. Panitia Wangsakerta itu tak pernah ada,” ujarnya. Kelengkapan naskah Wangsakerta itu juga sempat membuat Prof. Soekmono, ahli sejarah Arkenas, geleng-geleng kepala.

Peristiwa sejarah pada naskah itu ditulis secara runtut tanpa cela, dengan peneraan tahun yang cermat. Ini malah mengundang rasa curiga. “Berat rasanya untuk mempercayai bahwa naskah itu asli,” ujar guru besar arkeologi UI itu. Satu hal yang perlu dicatat, naskah Cirebon itu tak banyak mengulas soal Kerajaan Tarumanegara.

Sejarah Tarumanegara tak menjadi lebih terang pada kitab Wangsakerta. Kegelapan sejarah Tarumanegara juga terjadi pada khazanah sejarah modern. Tampak ada korelasi di antara keduanya. “Naskah Wangsakerta itu menyontek sejarah modern,” kata seorang sejarawan UI yang tak mau disebut namanya.

Atja berang mendengar naskah temuannya dikatakan palsu. “Kalau bangsa sendiri menemukan disepelekan, tapi bila orang Barat yang mendapatkannya dianggap patut dipercaya,” ujarnya. Tentang kelengkapan materi kitab Cirebon itu, “Bukan urusan penemunya, kalau memang penulisnya sudah maju, mau bilang apa,” ujar Atja.

Setiap naskah Wangsakerta itu berbentuk buku, dan ditulis pada daluwang, kertas kuno yang terbuat dari kayu. Pada masa itu, daluwang buatan Cina, kabarnya, telah diperdagangkan di Nusantara. Tebal buku bervariasi. Negarakretabhumi bagian dua misalnya, terdiri atas 98 lembar daluwang 32,5 cm X 22 cm.

Naskah ditulis dalam bahasa Jawa kuno, dan dirampungkan tahun 1693. Kitab-kitab “tua” itu, kata Atja, dibeli dengan harga Rp 1 – 2,5 juta per naskah. Dananya diambil dari APBD atau APBN lewat Proyek Sundanologi. Siapa pemilik naskah itu, dia tak tahu-menahu, lantaran pihak pialang tak bersedia mengungkapkannya.

“Memang begitu kode etik mereka,” ujar Atja, yang kini mengajar di Arkeologi Unpad. Asikin, penduduk Pegambiran, Cirebon, adalah yang mengaku memasok naskah itu ke Atja, sejak tahun 1972. Tentang pemiliknya, Asikin tak bersedia menyebutnya. Yang terang, dia mengaku menerima komisi antara Rp 300 dan Rp 800 ribu untuk setiap transaksi.

Aslikah naskah itu ? “Ah, itu kan urusan para ahli,” ujar Asikin. Tapi sesepuh Puri Keprabonan, Cirebon, Pangeran Sulaeman Sulendraningrat, 74 tahun, tak meragukan keaslian naskah “kuno” itu. Semasa hidup, tutur Sulaeman, Panembahan Wangsakerta memang pernah memprakarsai pembentukan tim ahli untuk menulis sejarah Nusantara.

Anggota tim itu diambil dari beberapa negeri. Tak hanya cendekiawan Jawa saja yang datang tutur Sulaeman, konon ada pula cendekiawan yang datang dari Kesultanan Trengganu, Pahang, keduanya di Malaysia. Di Cirebon mereka berkumpul, berdiskusi, dan menulis sejarah selama 21 tahun, dengan berbekal 1.800-an catatan kepustakaan.

Anehnya, proyek prestisius ini tak disebut-sebut dalam Babad Cirebon, yang sebagaimana umumnya babad, semestinya mencatat peristiwa penting. Tapi, menurut Sulaeman, itu memang kehendak Wangsakerta sendiri, supaya naskah agung itu luput dari jamahan kompeni Belanda.

"Kalau pihak kompeni tahu, naskah itu pasti dimusnahkan. Agar mereka mudah memutarbalikkan sejarah kita,” kata pangeran itu. 

Tapi tim Arkenas menemukan bukti lain. Ketika lembaran daluwang itu digosok dengan jari berludah, ternyata warna abu-abunya luntur. Di baliknya, terdapat warna hijau atau merah muda : kertas manila.

Bahasa Jawa kuno yang dipakai pun, menurut ketua tim, kelewat dikuno-kunokan, sehingga malah tak mewakili bahasa akhir abad ke-17. “Para wali yang hidup di abad ke-15 menggunakan bahasa Jawa baru,” tutur ketua tim penyidik itu. Peristiwa ini sangat disesalkan oleh Direktur Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Uka Tjandrasasmita. Katanya, “Bila terdapat unsur penipuannya, kami akan lapor ke Polisi.” 

Putut Tri Husodo, Ahmadie Thaha (Jakarta), Hasan Syukur dan Riza Sofyat (Biro Bandung)
(majalah.tempointeraktif.com/22 Oktober 1988)

Sumber : http://hurahura.wordpress.com/2010/05/25/naskah-itu-ternyata-palsu/

Enter your email address to get update from Info Blog.
Print PDF
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »

5 komentar

Sayapun demikian adanya, dalam hati juga merasakan kejanggalan terhadap Kitab tersebut, terutama yang menyebutkan bahwa Dyah Lembu Tal itu adalah seorang "wanita", padahal di sisi lain, dalam Kitab Negarakretagama dalam Pupuh XLVII menyatakan :

Dyah Lembu Tal itulah bapa Baginda Nata (Nararya Sanggramawijaya), dalam hidup atut runut sepakat sehati, setitah raja diturut, menggirangkan pandang, tingkah laku mereka semua meresapkan.

Dari isi pupuh tersebut jelas-jelas ternyata bahwa Dyah Lembu Tal adalah seorang laki-laki karena itu disebut dengan istilah "bapa".

Di sisi lain, kitab-kitab tersebut selesai ditulis pada abad ke 17 atau sekitar tahun 1604 Saka atau 1682 M, yang mungkin saja sumber-sunber utamanya (khusus tentang silsilah Wijaya) kurang begitu valid.

Balas

1. Bukankah sudah dilakukan uji kimiawi? dan hasilnya ternyata memang PALSU.

2. Kutipan dari http://inspirasi.co/polemik_yang_melegenda/post/22/660/ayatrohaedi_mengapa_dipermasalahkan_-_keaslian_kitab_wangsakerta_digugat_para_ahli_purbakala

Kesalahan tulis juga terdapat pada beberapa halaman. Anehnya kata-kata yang salah tulis itu dihapus dengan penghapus karet, lalu dibetulkan. Padahal pada naskah-naskah kuno kata yang salah dicoret, lalu kata yang benar ditulis di atasnya atau disisipkan di pojok kiri bawah.
Suwedi Montana yang meneliti 25 dari 52 kitab Wangsakerta juga mendapatkan banyak uraian terlebih dulu ditulis dengan pensil, bukan langsung dengan tinta.
"Bila kita teliti, bekas-bekas pensil tampak sekali," tuturnya. Bekas-bekas pensil tampak pula pada sisi kiri dan kanan kertas, yang mungkin dimaksudkan sebagai garis margin.

Balas

Sungguh keterlaluan penggagas yang membuat naskah ini tercipta. Demi mengharumkan bangsa tapi dengan berbuat nista. Maaf saya tidak senang dengan akal akalan untuk memutarbalikan sejarah. Memalukan sekali !

Balas

Sangat memalukan di jaman ini msh ada Org yg dg sengaja meminjam Nama Sang Pangeran utk mencari keuntungan Pribadi,...???. Kita tdk perlu lagi berdebat yg tdk ada artinya, lebih baik kita menggali lebih banyah sejarah yg belum terungkap dari pada membuang waktu dan fikiran dan tenaga hanya utk sebuah karya picisan yg memalukan pergaulan Bangsa di Catur Sejarah Peradaban Dunia.

Balas

Silahkan anda meninggalkan komentar demi kemajuan dan perkembangan blog ini, mohon jangan melakukan spam ..... (pasti akan terhapus secara otomatis)

Copyright © 2015. MAJAPAHIT 1478 - All Rights Reserved | Template Created by Info Blog Proudly powered by Blogger