Kitab Negarakertagama dalam Pupuh LXXIII pada point yang ke 3 menyebutkan "Jumlah candi makam raja seperti berikut, mulai dengan Kagenengan, disebut pertama karena tertua, Tumapel, Kidal, Jajagu, Wedwawedan (di Tuban), Pikatan, Bakul, Jawa-jawa, Antang Trawulan, Kalang Brat dan Jago, lalu Balitar, Sila Petak, Ahrit, Waleri, Bebeg, Kukap, Lumbang dan Puger".
Selanjutnya di dalam pupuh XXXVII menyajikan uraian tentang candi makam Kagenengan demikian "Tersebutlah keindahan candi makam, bentuknya tidak bertara, pintu masuk terlalu lebar lagi tinggi, dari luar bersabuk, di dalam terbentang halaman dengan rumah berderet di tepinya, ditanami aneka ragam bunga : tanjung, nagasari dan sebagainya, menaranya lampai, menjulang tinggi seperti gunung Meru di tengah-tengah, sangat indah, di dalam candi ada arca dewa Siwa, sebagai lambang raja yang dipuja di situ, ialah datu-leluhur raja Majapahit yang disembah di seluruh dunia".
Candi makam Kagenengan telah musnah, hanya berkat uraian Negarakertagama kita bisa mengetahui tentang keberadaannya.
Perlu di catat, bahwa si Penulis Kitab Negarakertagama ini hidup pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (Rajasanagara), jadi makam-makam raja setelah pemerintahan Prabu Hayam Wuruk tidak disebutkan dalam kitab tersebut.
Candi makam Kagenengan telah musnah, hanya berkat uraian Negarakertagama kita bisa mengetahui tentang keberadaannya.
Perlu di catat, bahwa si Penulis Kitab Negarakertagama ini hidup pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (Rajasanagara), jadi makam-makam raja setelah pemerintahan Prabu Hayam Wuruk tidak disebutkan dalam kitab tersebut.
CANDI JAGO (JAJAGHU)
Diantara 27 candi makam yang masih bertahan dalam keadaan hampir utuh adalah Candi Jago yang lebih terkenal dengan Candi Tumpang. Situs Candi Jago terletak di Desa Jago, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Candi ini dahulunya bernama Jayaghu. Candi ini menurut Negarakertagama diketahui sebagai salah satu candi pendharmaan bagi Maharaja Wisnuwardhana. Menurut kitab Negarakertagama pupuh XLI/4 candi Jago adalah candi Budha, di dalamnya terdapat arca Budha (amoghapasya) sebagai lambang mendiang raja Wisnuwardhana. Teras yang pertama memuat relief Kunjarakarna dongengan didaktik yang tidak asing lagi dalam kesasteraan Budha. Pada teras yang kedua terpahat relief Partayajnya sebuah cerita dari Mahabarata tentang Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakila, meminta senjata yang akan digunakan dalam perang Bharatayudha melawan Kurawa. Teras yang ketiga berisi relief Arjuna Wiwaha cerita perkawinan antara Arjuna dengan Dewi Suprabha, hadiah bhatara Guru kepada Arjuna setelah mengalahkan raja raksasa Nirwatakawaca. Badan candi itu sendiri dihias dengan adegan Kalayawana dan Kresna yang sepintas dapat diceritakan : setelah Kresna diusir oleh Kayawana dari Dwarawati, ia mengungsi ke Mucukunda, tempat bertapa seorang pendeta, dan tidur di tempat duduk sang pendeta, Kalayawana mengejarnya ke Mucukunda, ketika akan membunuh Kresna sang pendeta merintanginya dengan ucapan bahwa perbuatan yang demikian itu tidaklah wajar, mendengar ucapan itu Kalayawana marah dan mencaci maki sang pendeta, kemudian Kalayawana dipandang oleh sang pendeta mendadak hangus dan binasa, sepeninggal Kalayawana, Kresna kembali ke Dwarawati dan membangun kembali kerajaannya.
Arca Budha Amoghapasa
CANDI JAWI
Candi Jawi terletak di kaki G. Welirang, tepatnya di Desa Candi Wates, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, sekitar 31 km dari kota Pasuruan. Bangunan candi dapat dikatakan masih utuh karena telah berkali-kali mengalami pemugaran. Candi Jawi dipugar untuk kedua kalinya tahun 1938-1941 dari kondisinya yang sudah runtuh. Akan tetapi, pemugaran tidak dapat dituntaskan karena banyak batu yang hilang dan baru disempurnakan pada tahun 1975-1980. Candi Jawi menempati lahan yang cukup luas, sekitar 40 x 60 m2, yang dikelilingi oleh pagar bata setinggi 2 m. Bangunan candi dikelilingi oleh parit yang saat ini dihiasi oleh bunga teratai. Ketinggian candi ini sekitar 24,5 meter dengan panjang 14,2 m dan lebar 9,5 m. Bentuknya tinggi ramping seperti Candi Prambanan di Jawa Tengah dengan atap yang bentuknya merupakan paduan antara stupa dan kubus bersusun yang meruncing pada puncaknya. Posisi Candi Jawi yang menghadap ke timur, membelakangi Gunung Pananggungan, menguatkan dugaan sebagian ahli bahwa candi ini bukan tempat pemujaan, karena candi untuk peribadatan umumnya menghadap ke arah gunung, tempat bersemayam kepada Dewa. Sebagian ahli lain tetap meyakini bahwa Candi Jawi berfungsi sebagai tempat pemujaan. Posisi pintu yang tidak menghadap ke gunung dianggap sebagai akibat pengaruh ajaran Buddha.
Kaki candi berdiri di atas batur (kaki candi) setinggi sekitar 2 m dengan pahatan relief yang memuat kisah tentang seorang pertapa wanita. Tangga naik yang tidak terlalu lebar terdapat tepat di hadapan pintu masuk ke garba grha (ruang dalam tubuh candi). Pahatan yang rumit memenuhi pipi kiri dan kanan tangga menuju selasar. Sedangkan pipi tangga dari selasar menuju ke lantai candi dihiasi sepasang arca binatang bertelinga panjang.
Di sekeliling tubuh candi terdapat selasar yang cukup lebar. Bingkai pintunya polos tanpa pahatan, namun di atas ambang pintu terdapat pahatan kalamakara, lengkap dengan sepasang taring, rahang bawah, serta hiasan di rambutnya, memenuhi ruang antara puncak pintu dan dasar atap. Di kiri dan pintu terdapat relung kecil tempat meletakkan arca. Di atas ambang masing-masing relung terdapat pahatan kepala makhluk bertaring dan bertanduk.
Ruangan dalam tubuh candi saat ini dalam keadaan kosong. Tampaknya semula terdapat arca di dalamnya. Negarakertagama menyebutkan bahwa di dalam bilik candi terdapat arca Syiwa dengan Aksobaya di mahkotanya. Selain itu disebutkan juga adanya sejumlah arca dewa-dewa dalam kepercayaan Syiwa, seperti arca Mahakala dan Nandiswara, Durga, Ganesha, Nandi, dan Brahma. Tak satupun dari arca-arca tersebut yang masih berada di tempatnya. Konon arca Durga kini disimpan di Museum Empu Tantular, Surabaya.
Dinding luar tubuh candi dihiasi dengan relief yang sampai saat masih belum ada yang berhasil membacanya. Mungkin karena pahatannya yang terlalu tipis. Mungkin juga karena kurangnya informasi pendukung, seperti dari prasasti atau naskah. Kitab Negarakertagama yang menceritakan candi ini secara cukup rincipun sama sekali tidak menyinggung soal relief tersebut. Menurut juru kunci candi, relief itu harus dibaca menggunakan teknik prasawiya (berlawanan dengan arah jarum jam), seperti yang digunakan dalam membaca relief di Candi Kidal. Masih menurut juru kunci candi, relief yang terpahat di tepi barat dinding utara menggambarkan peta areal candi dan wilayah di sekitarnya.
Dalam Negarakertagama pupuh 56 disebutkan bahwa Candi Jawi didirikan atas perintah raja terakhir Kerajaan Singasari, Kertanegara, untuk tempat beribadah bagi umat beragama Syiwa-Buddha. Raja Kartanegara adalah seorang penganut ajaran Syiwa Buddha. Selain sebagai tempat ibadah, Candi Jawi juga merupakan tempat penyimpanan abu jenazah Kertanegara. Hal ini memang agak mengherankan, karena letak Candi Jawi cukup jauh dari pusat Kerajaan Singasari. Diduga hal itu disebabkan karena rakyat di daerah ini sangat setia kepada raja dan banyak yang menganut ajaran Syiwa-Buddha. Dugaan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa saat Raden Wijaya, menantu Raja Kertanegara, melarikan diri setelah Kertanegara dijatuhkan oleh Raja Jayakatwang dari Gelang-gelang (daerah Kediri), ia sempat bersembunyi di daerah ini, sebelum akhirnya mengungsi ke Madura.
Yoni yang dahulu berada di Candi Jawi
Replika Bhairawa Kartanegara
Adalah Candi Makam Sri Kertarajasa Jayawardana (Bhre Wijaya) yang meninggal pada tahun 1309, candi ini berada di Sumberjati dekat Blitar.
Penegasan tentang keberadaan Candi Makam ini tertulis dalam Kitab Negarakertagama Pupuh XLVII bagian yang ketiga, yang berbunyi : ' .... tahun Saka surya mengitari bulan (1231 Saka atau 1309 M), Sang Prabu (Wijaya) mangkat, ditanam di dalam pura Antahpura, begitu nama makam beliau, dan di makam Simping ditegakkan arca Siwa.'
Kondisi Candi Simping (Candi Sumberjati) saat ini hanya tinggal lantai pondasinya saja, sementara bangunan utuhnya telah runtuh. Candi ini dibangun dengan bahan dasar batu andesit (berbeda dengan candi-candi yang masih dapat kita temukan di wilayah Trowulan, Mojokerto).
Makara (lambang penyucian) pada Candi Simping
Lambang pelepasan arwah (roh)
Lingga Yoni yang menjadi pusat Candi Simping
Lambang pelepasan arwah (roh)
Lingga Yoni yang menjadi pusat Candi Simping
Dan inilah sketsa Candi Simping (Candi Sumberjati)
Silahkan anda meninggalkan komentar demi kemajuan dan perkembangan blog ini, mohon jangan melakukan spam ..... (pasti akan terhapus secara otomatis)