MAJAPAHIT 1478. Pada artikel yang pertama telah dikisahkan tentang hal ihwal keberadaan Candi Sukuh ini, yang diantaranya berkaitan dengan Struktur bangunan Candi Sukuh dan kupasan beberapa relief yang ada. Pada bagian kedua ini akan sedikit diuraikan tentang tokoh Semar.
Munculnya tokoh Semar.
Satu hal unik yang patut untuk kita cermati pada relief-relief yang terhampar di kompleks Candi Sukuh ini adalah munculnya tokoh Semar sebagai punakawan dan sebagai bagian dari para bhatara (dewa). Semar sebagai tokoh punakawan dapat kita amati dari relief berikut ini.
Sang Hyang Antaga memulai sayembara tersebut, ia mencabut gunung Jamurdipa dan berusaha memasukkan ke mulutnya. Ia memaksa untuk menelan, namun ia merasa sangat kesusahan untuk menelannya. Gunung Jamurdipa itu masih terlalu besar untuk ukuran mulutnya, namun karena nafsunya yang besar, maka ia terus mencoba memasukkan gunung itu ke dalam mulutnya hingga mulutnya "robek besar". Kegedhen empyak kurang cagak, besar keinginannya namun kurang memiliki perhitungan.
Sang Hyang Ismaya kemudian melakukan hal yang sama, ia berusaha untuk menelan gunung Jamurdipa tersebut. Dengan kekuatan yang luar biasa ia memaksakan gunung Jamurdipa itu untuk masuk ke dalam mulutnya serta menelannya. Ia berhasil menelan gunung tersebut, namun tidak dapat untuk memuntahkannya kembali, karena telah kehabisan tenaga setelah melakukan perang tanding yang sedemikian lamanya.
Akibat pertarungan ini, penampilan mereka berdua menjadi berubah, Sang Hyang Antaga berubah menjadi pendek dan perutnya buncit, mulutnya berubah menjadi sangat lebar menyerupai mulut angsa dan tidak seimbang dengan wajahnya. Sementara itu Sang Hyang Ismaya tubuhnya berubah menjadi gemuk, perutnya bucit dan berpantat besar dengan wajah yang sangat lebih tua.
Akhirnya Sang Hyang Tunggal mengangkat dan menobatkan Sang Hyang Manikmaya menjadi Raja Tribuana dengan tugas untuk menentramkan marcapada. Oleh karenanya Sang Hyang Manikmaya inilah yang akhirnya dikenal dengan sebutan Bhatara Guru (Shiwa). Selanjutnya, Sang Hyang Antaga diminta untuk turun ke marcapada dan kelak akan menurunkan keturunannya di sana, dan bila turun ke marcapada ia harus merubah namanya menjadi Togog (Togog Wijomantri) yang ditugaskan untuk mengasuh, mendidik dan memberi nasehat budi pekerti yang baik kepada para raja keturunan Sang Hyang Manikmaya yang berwujud raksasa. Dan kepada Sang Hyang Ismaya juga diminta untuk turun ke marcapada dan harus berganti nama menjadi Semar (Semar Badranaya) yang bertugas untuk mengasuh para raja, brahmana dan kesatria yang masih keturunan Sang Hyang Manikmaya.
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa Semar pada dasarnya adalah seorang Bhatara atau dewa yang merupakan keturunan langsung dari Sang Hyang Tunggal, namun karena ia telah membuat satu kesalahan, maka ia dihukum dan harus menjalani kehidupannya di marcapada (bumi) dan menjadi pengasuh (punakawan) para raja, brahmana dan kesatria yang merupakan keturunan Sang Hyang Manikmaya (Bhatara Guru) termasuk para Pandawa salah satunya.
Semar dan kembarannya.
Tiba saatnya Semar untuk turun ke marcapada, ia merasa ikhlas dengan apa yang telah dialaminya sebagai sebuah ujian, namun dengan nada bersenda gurau ia menyindir Sang Hyang Tunggal, keadaan rupanya yang tidak lagi rupawan, wujudnya kini sangat jauh berbeda dengan wujudnya yang terdahulu, buruk rupa dan berkulit hitam legam. Sang Hyang Tunggal kemudian menjelaskan bahwa tubuh Hyang Ismaya yang kini berubah hitam mempunyai makna "tidak berubah", menyamarkan yang sejatinya, yang bermaksud 'ada' itu 'tidak ada', diterka bukan, dan yang 'bukan' diterka 'ya'. Dengan demikian sebenarnya Sang Hyang Tunggal telah menunjuk Hyang Ismaya sebagai "putra yang tertua secara sifat". Dan kulit hitam Hyang Ismaya sendiri melambangkan suatu misteri, ketidak tahuan mutlak yaitu ketidak-tahuan semua makhluk kepada Sang Penciptanya. Oleh karenanya Hyang Ismaya dalam tugasnya di marcapada nanti harus mengganti namanya menjadi Semar Badranaya (Semar = haseming samar-samar atau penuntun hidup dan Badra artinya bebadra = membangun dari dasar dan Naya artinya Nayaka = utusan).
Selanjutnya Hyang Ismaya mengajukan permintaan kepada Sang Hyang Tunggal, bahwa di marcapada nanti ia meminta seorang saksi dalam menjalankan tugasnya. Ia tidak menginginkan saksi yang bukan merupakan bagian dari jati dirinya, ia akan mencipta seorang saksi yang berasal dari dirinya sendiri, yang berasal dari bayangannya, dan saksi itu akan diberi nama Bagong.
Demikianlah sedikit uraian tentang Semar yang digambarkan pada relief-relief di kompleks Candi Sukuh, semoga bermanfaat. Di lain kesempatan akan diulas tentang budaya Jawa asli yang lainnya.
Selesai.
Munculnya tokoh Semar.
Satu hal unik yang patut untuk kita cermati pada relief-relief yang terhampar di kompleks Candi Sukuh ini adalah munculnya tokoh Semar sebagai punakawan dan sebagai bagian dari para bhatara (dewa). Semar sebagai tokoh punakawan dapat kita amati dari relief berikut ini.
Relief Semar sebagai punakawan
Pertanyaan yang muncul di benak kita adalah : Siapakah sebenarnya tokoh Semar ini (yang banyak muncul dalam relief-relief) ? Apa perannya ?
Dikisahkan bahwa Sang Hyang Tunggal memiliki tiga orang putera yang berasal dari sebuah telur yang sama. Bagian kulit telur akhirnya menjelma menjadi Sang Hyang Antaga, bagian putih telur menjadi Sang Hyang Ismaya dan bagian kuning telur menjelma menjadi Sang Hyang Manikmaya (Bhatara Guru atau Shiwa).
Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya, pada suatu ketika saling beradu kekuatan untuk membuktikan siapa diantara mereka yang paling tua atau tertua. Sang Hyang Antaga tersinggung atas perkataan Sang Hyang Ismaya yang menyatakan bahwa ia tercipta dari kulit telur yang hanya berupa 'ragangan' dan berarti merupakan benda kosong tidak memiliki arti dan dianggap tidak memiliki keutamaan. Sang Hyang Antaga pun berjumawa, ia menganggap kulit telur adalah yang terkuat dengan wujud yang keras dibandingkan isi telur. Sang Hyang Ismaya membantah, bagaimana bisa disebut kuat kalau kulit telur bisa retak dan pecah. Adu mulut antara Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya kian memanas, mereka berdua sama-sama telah terbakar amarah.
Kita adu kesaktian ! Siapa yang kuat diantara kita ! Demikian tantangan Sang Hyang Antaga kepada Sang Hyang Ismaya. Dengan mempergunakan prinsip "girilusi jalmo tan keno ing ngino", Sang Hyang Ismaya menerima tantangan tersebut. Di lain pihak Sang Hyang Manikmaya hanya diam membisu.
Sang Hyang Tunggal berusaha untuk melerai pertikaian ini dan sekaligus menasihati keduanya. Bertikai dengan saudara sendiri, apakah kalian tidak akan menyesal nantinya ? Demikianlah peringatan Sang Hyang Tunggal, namun peringatan ini sama sekali tidak digubris oleh keduanya yang telah terbakar amarah.
Pertarungan antara Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga telah memakan waktu yang cukup lama, tanpa berhenti dan tanpa mengenal rasa lelah. Dan saat pertarungan telah menginjak waktu yang ke empat puluh hari, Sang Hyang Tunggal memutuskan untuk menyelesaikan pertarungan dengan mengajukan syarat sayembara kepada kedua putranya tersebut. Barang siapa yang mampu menelan gunung Jamurdipa dan lalu memuntahkannya kembali, maka dialah yang akan diakui sebagai yang tertua dan dinobatkan sebagai Raja Tribuana, mewarisi seluruh Kahyangan Suralaya.
Sang Hyang Antaga memulai sayembara tersebut, ia mencabut gunung Jamurdipa dan berusaha memasukkan ke mulutnya. Ia memaksa untuk menelan, namun ia merasa sangat kesusahan untuk menelannya. Gunung Jamurdipa itu masih terlalu besar untuk ukuran mulutnya, namun karena nafsunya yang besar, maka ia terus mencoba memasukkan gunung itu ke dalam mulutnya hingga mulutnya "robek besar". Kegedhen empyak kurang cagak, besar keinginannya namun kurang memiliki perhitungan.
Sang Hyang Ismaya kemudian melakukan hal yang sama, ia berusaha untuk menelan gunung Jamurdipa tersebut. Dengan kekuatan yang luar biasa ia memaksakan gunung Jamurdipa itu untuk masuk ke dalam mulutnya serta menelannya. Ia berhasil menelan gunung tersebut, namun tidak dapat untuk memuntahkannya kembali, karena telah kehabisan tenaga setelah melakukan perang tanding yang sedemikian lamanya.
Akibat pertarungan ini, penampilan mereka berdua menjadi berubah, Sang Hyang Antaga berubah menjadi pendek dan perutnya buncit, mulutnya berubah menjadi sangat lebar menyerupai mulut angsa dan tidak seimbang dengan wajahnya. Sementara itu Sang Hyang Ismaya tubuhnya berubah menjadi gemuk, perutnya bucit dan berpantat besar dengan wajah yang sangat lebih tua.
Akhirnya Sang Hyang Tunggal mengangkat dan menobatkan Sang Hyang Manikmaya menjadi Raja Tribuana dengan tugas untuk menentramkan marcapada. Oleh karenanya Sang Hyang Manikmaya inilah yang akhirnya dikenal dengan sebutan Bhatara Guru (Shiwa). Selanjutnya, Sang Hyang Antaga diminta untuk turun ke marcapada dan kelak akan menurunkan keturunannya di sana, dan bila turun ke marcapada ia harus merubah namanya menjadi Togog (Togog Wijomantri) yang ditugaskan untuk mengasuh, mendidik dan memberi nasehat budi pekerti yang baik kepada para raja keturunan Sang Hyang Manikmaya yang berwujud raksasa. Dan kepada Sang Hyang Ismaya juga diminta untuk turun ke marcapada dan harus berganti nama menjadi Semar (Semar Badranaya) yang bertugas untuk mengasuh para raja, brahmana dan kesatria yang masih keturunan Sang Hyang Manikmaya.
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa Semar pada dasarnya adalah seorang Bhatara atau dewa yang merupakan keturunan langsung dari Sang Hyang Tunggal, namun karena ia telah membuat satu kesalahan, maka ia dihukum dan harus menjalani kehidupannya di marcapada (bumi) dan menjadi pengasuh (punakawan) para raja, brahmana dan kesatria yang merupakan keturunan Sang Hyang Manikmaya (Bhatara Guru) termasuk para Pandawa salah satunya.
Semar dan kembarannya.
Tiba saatnya Semar untuk turun ke marcapada, ia merasa ikhlas dengan apa yang telah dialaminya sebagai sebuah ujian, namun dengan nada bersenda gurau ia menyindir Sang Hyang Tunggal, keadaan rupanya yang tidak lagi rupawan, wujudnya kini sangat jauh berbeda dengan wujudnya yang terdahulu, buruk rupa dan berkulit hitam legam. Sang Hyang Tunggal kemudian menjelaskan bahwa tubuh Hyang Ismaya yang kini berubah hitam mempunyai makna "tidak berubah", menyamarkan yang sejatinya, yang bermaksud 'ada' itu 'tidak ada', diterka bukan, dan yang 'bukan' diterka 'ya'. Dengan demikian sebenarnya Sang Hyang Tunggal telah menunjuk Hyang Ismaya sebagai "putra yang tertua secara sifat". Dan kulit hitam Hyang Ismaya sendiri melambangkan suatu misteri, ketidak tahuan mutlak yaitu ketidak-tahuan semua makhluk kepada Sang Penciptanya. Oleh karenanya Hyang Ismaya dalam tugasnya di marcapada nanti harus mengganti namanya menjadi Semar Badranaya (Semar = haseming samar-samar atau penuntun hidup dan Badra artinya bebadra = membangun dari dasar dan Naya artinya Nayaka = utusan).
Gambaran Semar dalam pewayangan
Selanjutnya Hyang Ismaya mengajukan permintaan kepada Sang Hyang Tunggal, bahwa di marcapada nanti ia meminta seorang saksi dalam menjalankan tugasnya. Ia tidak menginginkan saksi yang bukan merupakan bagian dari jati dirinya, ia akan mencipta seorang saksi yang berasal dari dirinya sendiri, yang berasal dari bayangannya, dan saksi itu akan diberi nama Bagong.
Relief Semar dan kembaran yang berasal dari jati dirinya sendiri
Demikianlah sedikit uraian tentang Semar yang digambarkan pada relief-relief di kompleks Candi Sukuh, semoga bermanfaat. Di lain kesempatan akan diulas tentang budaya Jawa asli yang lainnya.
Selesai.
Silahkan anda meninggalkan komentar demi kemajuan dan perkembangan blog ini, mohon jangan melakukan spam ..... (pasti akan terhapus secara otomatis)