MAJAPAHIT 1478. Candi Sukuh merupakan sebuah misteri, Candi Sukuh banyak di salah artikan, Candi Sukuh sering dianggap sebagai "candi erotis", Candi Sukuh perlu pemahaman secara menyeluruh berdasarkan beberapa serat Jawa Kuno yang ada. Untuk itulah maka artikel tentang Candi Sukuh sebuah pemahaman menyeluruh ini ditulis.
Kompleks Candi Sukuh secara menyeluruh
Pengantar.
Sastra tradisionil merupakan suatu jenis sastra yang khas. Jenis sastra ini biasanya diikuti oleh nuansa fungsi yang kental sehingga fungsinya sering tidak sekedar bacaan, melainkan juga merupakan suatu bacaan sakral yang memiliki kaitan dengan kepercayaan masyarakat pemiliknya. Sastra tradisionil (sastra Jawa khususnya) juga seringkali kental dengan nuansa pendidikan dan penanaman tradisi.
Karena itu, topik pembahasan pada artikel ini adalah mengenai fungsi sastra tradisionil tersebut dikaitkan dengan keberadaan Candi Sukuh yang cukup fenomenal tersebut. Namun, penelitian tentang fungsi tersebut mengalami kendala. Masyarakat pemilik sastra tradisionil tersebut dewasa ini sudah tidak ada dan yang ada hanyalah artefak sisa-sisa kegiatan mereka. Artefak-artefak tersebut yang kemudian kita tafsirkan dan mencoba mendapatkan sebuah pemahaman secara menyeluruh.
Tulisan ini berusaha memahami sastra tradisionil dalam korelasinya dengan artefak-artefak di Candi Sukuh yang di dalamnya tersimpan teks-teks sastra tradisionil dalam bentuk yang lain, yakni divisualisasi dalam relief-relief dan arca-arca yang ada.
Beberapa hal tentang Candi Sukuh.
Candi Sukuh merupakan sebuah candi yang terletak di lereng Gunung Lawu. Candi ini konon didirikan pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Yang menarik bahwa candi tersebut dibangun jauh dari pusat kerajaan di Majapahit yang berada di wilayah Jawa Timur. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Candi Sukuh ini bukanlah merupakan sebuah candi kerajaan, dan oleh karenanya modelnya pun cukup sederhana bila dibandingkan dengan candi-candi peninggalan Majapahit yang lainnya. Candi Sukuh konon dibangun pada antara tahun 1416 M sampai 1459 M. Pada kompleks Candi Sukuh ini diantaranya juga menampilkan tokoh Bima sebagai tokoh dari Mahabharata yang ditampilkan sebagai simbol potensi dan penyalur kekuatan abadi. Di dalam Candi Sukuh juga ditemukan simbol-simbol kesuburan yang digambarkan secara realistis berupa alat kelamin pria dan wanita di pintu gerbangnya. Candi Sukuh dalam hal gaya, sangat erat kaitannya dengan gaya pra-sejarah Indonesia yang sudah terpendam selama 1500 tahun (Holt, 1967:33).
Yang menarik bahwa di dalam kompleks candi ini dilukiskan cerita-cerita pelepasan dan cerita-cerita ruwat. Setidaknya ada tiga cerita dari khasanah sastra tradisionil yang menjiwai candi ini. Cerita tersebut adalah cerita dari Adiparwa, Nawaruci dan cerita-cerita dari Kidung Sudamala. Beberapa kisah sastra tradisionil tersebut pada pokok-pokoknya adalah sebagai berikut :
1.1. Kidung Sudamala di Candi Sukuh.
Sang Hyang Tunggal dan Sang Hyang wisesa melaporkan kepada Bhatara Guru bahwa Dewi Uma telah berbuat serong. Laporan itu menjadikan Bhatara Guru marah dan mengutuk Dewi Uma menjadi raksasa wanita yang mengerikan. Bhatara Guru mengatakan nanti akhirnya yang dapat melepaskan kutuk itu adalah Sadewa, anak Kunti. Bhatari Uma lalu tinggal di hutan Setra Gandamayu(Setra Gandamayit) sebagai ratu lelembut (makhluk halus).
Dua orang gandarwa juga dikutuk Bhatara Guru lalu menjadi raksasa bernama Kalanjaya dan Kalantaka lalu mengabdi ke Hastina. Hal itu menjadikan Pandawa sedih. Dewi Kunti lalu bertapa di Setra Gandamayu tersebut untuk mendapatkan bantuan. Dewi Kunti lalu ditemui Bhatari Durga yang bersedia membantu menyingkirkan Kalanjana dan Kalantaka asalkan Dewi Kunti bersedia menyerahkan Sadewa. Kunti pada mulanya tidak mau menyerahkan Sadewa, namun ketika roh seorang makhluk halus memasuki badan Dewi Kunti, maka Kunti lalu menyerahkan Sadewa ke hadapan Bhatari Durga.
Relief yang menggambarkan Bhatari Durga saat bertemu dengan Sadewa
Di hadapan Bhatarai Durga, Sadewa diminta meruwatnya, namun Sadewa tetap tidak mau karena tidak bisa. Hal itu menimbulkan amarah Bhatari Durga, tetapi Sadewa tetap diam saja. Peristiwa itu dilihat oleh Bhatara Narada yang segera melaporkannya kepada Bhatara Guru. Mengetahui hal itu, Bhatara Guru lalu memasuki tubuh Sadewa, kemudian Bhatari Durga berhasil diruwat sehingga menjadi bhatari yang cantik kembali (Dewi Uma - istri Bhatara Guru sendiri). Hutan Setra Gandamayu lalu menjadi tempat yang indah. Setan dan lelembut lalu menjadi dewa. Sadewa kemudian diberi nama baru oleh Bhatari Durga dengan nama Sudamala yang artinya "membersihkan kotoran". Bhatari durga yang sudah menjadi Dewi Uma kembali lalu menasihati Sadewa untuk pergi ke Patapan Prangalas untuk mengawini Dewi Padapa, anak Bagawan Tambrapetra. Kakak Sadewa bernama Nakula lalu juga menyusul ke pertapaan tersebut. Kedua satria itu lalu dikawinkan dengan anak-anak Bagawan Tambrapetra. Sadewa dan Nakula lalu berhasil mengalahkan Kalanjana dan Kalantaka yang keduanya lalu berubah ke wujud asli sebagai dua orang widadara (Poerbatjaraka:1954:78). Demikianlah cerita ringkas Kidung Sudamala yang ceritanya juga dipahatkan pada relief Candi Sukuh tersebut.
1.2. Cerita Garuda
Cerita tentang garuda atau lebih dikenal sebagai cerita Garudeya merupakan bagian dari cerita Adiparwa dari Mahabharata. Diceritakan bahwa Kasyapa memiliki istri 29 orang. Dua diantara istri-istrinya itu bernama Kadru dan Winata. Kadru memiliki anak berupa ular sedang Winata memiliki anak berupa garuda. Suatu hari Kadru dan Winata bertaruh mengenai warna kuda yang akan muncul bersama air amerta. Keduanya bertaruh bahwa yang salah akan menjadi hambanya. Kadru mengatakan bahwa kuda akan berwarna biru sedang Winata mengatakan bahwa kuda akan berwarna putih. Ternyata kuda yang muncul berwarna putih. Karena tidak mau kalah, Kadru lalu menyuruh anak-anaknya yang berupa ular untuk menggigit kuda tersebut dengan bisanya sehingga berwarna biru. Akhirnya, Winata kemudian menjadi hamba Kadru karena kelicikan Kadru.
Relief yang mengisahkan Garuda menggendong Winata (ibunya)
1.3. Kisah Nawaruci
Pada bagian lapik sebelah kanan candi utama terdapat beberapa pahatan relief yang cukup membingungkan dan mengundang banyak interprestasi. Dalam hal ini penulis menginterprestasikannya sebagai kisah Nawaruci yang mengisahkan pencarian air-suci oleh Bima. Pencarian air suci ini membawa Bima kepada kondisi penemuan jati dirinya yang sejati sehingga membawanya menjadi "manusia sempurna" sesuai dengan kodrat ilahi serta mengalahkan kedudukan para Bhatara.
(Bersambung ........... ke bagian yang kedua)
Lokasi yang menceritakan kisah Nawaruci
(Bersambung ........... ke bagian yang kedua)
1 komentar:
Sebuah analisa yang sangat ilmiah, memuaskan saya pribadi dan cukup untuk membuka sebuah wawasan baru. Ditunggu kelanjutannya.
BalasSilahkan anda meninggalkan komentar demi kemajuan dan perkembangan blog ini, mohon jangan melakukan spam ..... (pasti akan terhapus secara otomatis)