logo blog
Selamat Datang Di Majapahit Blog
Terima kasih atas kesediaan anda berkunjung di Majapahit Blog ini,
Semoga apa yang Blog ini share dan tulis di sini dapat bermanfaat dan memberikan motivasi pada kita semua
untuk terus berkarya dan berbuat sesuatu yang dapat berguna bagi masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia.

Kontroversi nama Brawijaya sebagai Raja Majapahit

Majapahit, brawijayaMAJAPAHIT, Pada kesempatan update artikel di tahun 2015 ini penulis ingin membuka wacana tentang "Kontroversi nama Brawijaya sebagai Raja Majapahit". Dari penelitian dan pengamatan saya tentang raja-raja Majapahit (akhir), bahwa sampai saat ini berdasarkan sumber otentik Majapahit (yang berupa prasasti) menjelaskan bahwa tidak ada raja Majapahit yang bergelar Brawijaya. Nama tersebut pada dasarnya hanya muncul di dalam Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi yang tingkat keakuratannya terutama hal-hal yang berkaitan dengan sejarah kerajaan Majapahit sangat minim dan patut dipertanyakan kebenarannya.

Kontroversi Nama Brawijaya berdasarkan Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda.

Babad Tanah Jawi menyebut nama asli Brawijaya adalah Raden Alit. Ia naik tahta menggantikan ayahnya yang bernama Prabu Bratanjung, dan kemudian memerintah dalam waktu yang sangat lama, yaitu sejak putra sulungnya yang bernama Arya Damar belum lahir, sampai akhirnya turun takhta karena dikalahkan oleh putranya yang lain, yaitu Raden Patah yang juga saudara tiri Arya Damar.

Brawijaya (masih menurut Babad Tanah Jawi ini) memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati, seorang muslim dari Campa. Jumlah selirnya banyak sekali. Dari mereka, antara lain lahirlah Arya Damar bupati Palembang, Raden Patah bupati Demak, Batara Katong bupati Ponorogo, serta Bondan Kejawan leluhur raja-raja Kesultanan Mataram.

Sementara itu Serat Kanda menyebut nama asli Brawijaya adalah Angkawijaya, putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kencanawungu. Mertawijaya adalah nama gelar Damarwulan yang menjadi raja Majapahit setelah mengalahkan Menak Jingga bupati Blambangan.

Dari kedua sumber tersebut (serat maupun babad) jelas-jelas terdapat perbedaan yang mencolok berkaitan dengan nama asli dari Brawijaya sendiri. Yang satu (Babad Tanah Jawi) menyebutnya dengan nama Raden Alit, sedangkan yang lainnya (Serat Kanda) menyebutnya dengan nama Angkawijaya. Anehnya, nama Brawijaya ini kian populer di mata masyarakat Jawa (khususnya di wilayah Jawa Timur), meskipun kebenaran maupun keberadaannya masih sangat diragukan dan pantas dipertanyakan.

Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya, gelar Bhra adalah singkatan dari Bhatara, yang bermakna "baginda". Sedangkan gelar Bhre yang banyak dijumpai dalam Kitab Pararaton berasal dari gabungan kata "bhra i", yang bermakna "baginda di". Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya.

Menurut catatan Tome Pires yang berjudul Suma Oriental, pada tahun 1513 di Pulau Jawa ada seorang raja bernama Batara Vigiaya. Ibu kota kerajaannya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat simbol, karena yang berkuasa penuh adalah mertuanya yang bernama Pate Amdura.

Batara Vigiaya, Dayo, dan Pate Amdura adalah ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Mahodara. Tokoh Bhatara Wijaya ini kemungkinan di-identik-kan dengan Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486, dimana ia mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Pusat pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di Daha. Dengan kata lain, saat itu Daha adalah ibu kota Majapahit.

Babad Sengkala mengisahkan pada tahun 1527 Kadiri atau Daha runtuh akibat serangan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak. Tidak diketahui dengan pasti apakah saat itu penguasa Daha masih dijabat oleh Bhatara Ranawijaya atau tidak. Namun apabila benar demikian, berarti Ranawijaya merupakan raja Daha yang terakhir.

Mungkin Bhatara Ranawijaya inilah yang namanya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa sebagai raja Majapahit yang terakhir, yang namanya kemudian disingkat sebagai Brawijaya. Namun, karena istilah Majapahit selalu identik dengan daerah Trowulan, di Kabupaten Mojokerto, maka Brawijaya pun kemudian “ditempatkan” sebagai raja yang memerintah di sana, dan bukan di Daha. Identifikasi semacam ini (yang membingungkan) biasa terjadi dalam tradisi masyarakat Jawa (khususnya Jawa Timur).


Bentuk penyesatan lainnya.

Contoh kasus lain yang sangat-sangat membingungkan dan terkesan menjerumuskan adalah adanya Makam Raden Wijaya beserta ke empat permaisurinya di situs petilasan Siti Hinggil, Mojokerto. Terlihat jelas bahwa hal tersebut adalah sebuah rekayasa sejarah yang sengaja dibuat untuk maksud-maksud tertentu.

Majapahit, siti hinggil
 Situs Siti Hinggil di Trowulan, Mojokerto

Majapahit, makam wijaya
 Makam Wijaya di Siti Hinggil, Mojokerto

R. Wijaya yang sebenarnya bernama Nararya Sanggramawijya (sumber : prasasti Kertarajasa Jayawardhana yang ketiga, bertarikh 1305 M) dengan gelar kebangsawanannya Sri Kertarajasa Jayawardhana adalah seorang pemeluk agama Siwa-Budha yang taat. Hal ini adalah sesuai dengan arca pendewaan beliau yang berupa arca Hari-hara yang merupakan sinkretisme dari Hindu dan Budha. Arca pendewaan ini dahulu terdapat atau diketemukan di kawasan Candi Simping atau Candi Sumberjati, di daerah Blitar, Jawa Timur.

Kakawin Negarakertagama di dalam pupuh XLVII/3 menjelaskan : ".. tahun Saka Surya mengitari tiga bulan (1231 S) Sang Prabhu mangkat, ditanam di dalam pura Antahpura, begitu nama makam beliau, dan di makam Simping ditegakkan arca Siwa". 

Dari penuturan pupuh ini jelas disebutkan dua makam Sanggramawijaya yang disebut dengan pura Antahpura dan makam Simping. Berbicara perihal pura Antahpura ini, sampai saat ini para arkeolog Indonesia belum dapat mendefinisikannya secara pasti dimana letaknya serta bagaimana bentuknya. Namun, solusi pertama untuk pencariannya hendaknya dikaitkan dengan ibukota-pertama kerajaan Majapahit yang terletak di wilayah hutan orang-orang Terik. Hal ini sesuai dengan identifikasi lokasi pertama pendirian desa Majapahit yang merupakan cikal-bakal kerajaan Majapahit.

Candi makam Simping, sampai saat ini masih dapat kita temukan sisa-sisa reruntuhannya yang berada di wilayah Desa Sumberjati, Blitar Jawa Timur. Diantara puing-puing reruntuhan candi, dapat kita temukan beberapa artefak-artefak yang mencirikan kerajaan Majapahit-awal, diantaranya makara, relief-relief majapahitan, yoni berhias kura-kura (bulus) dan lain sebagainya. 

Majapahit, candi simping
 Candi Makam Sanggramawijaya (Makam Simping)

Kakawin Negarakertagama dalam pupuh LXI/4 serta pupuh LXII/1 menuturkan perihal Candi makam Simping ini berturut-turut secara demikian  :

"... meninggalkan Lodaya menuju desa Simping, ingin memperbaiki candi makam leluhur, menaranya rusak, dilihat miring ke barat, perlu ditegakkan kembali agak ke timur .." (pupuh LXI/4).

"... perbaikan disesuaikan dengan bunyi prasasti yang dibaca lagi, diukur panjang lebarnya ; di sebelah timur sudah ada tugu, asrama Gurung-gurung diambil sebagai denah candi makam, untuk gantinya diberikan Ginting, Wisnurare di Bajradara". (pupuh LXII/1).


Kertawijaya identik dengan  Brawijaya.

Kembali ke permasalahan awal tentang Brawijaya, Brawijaya adalah nama raja Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat yang sangat populer dalam masyarakat Jawa. Dikisahkan Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati dari negeri Campa yang beragama Islam. Brawijaya turun takhta tahun 1478 karena dikalahkan putranya dari selir, yang bernama Raden Patah.

Di Mojokerto ditemukan situs makam Putri Campa yang diyakini sebagai istri Brawijaya. Batu nisan makam tersebut berangka tahun 1448 M, jatuh pada masa pemerintahan Kertawijaya. Hal ini menimbulkan pendapat bahwa, tokoh Brawijaya identik dengan Kertawijaya. Bahkan, dalam bagan silsilah yang ditemukan pada pemakaman Ratu Kalinyamat di Jepara, ditulis nama Kertawijaya sebagai nama ayah Raden Patah.

Tokoh lain yang dianggap identik dengan Brawijaya adalah Bhre Kertabhumi putra Rajasawardhana, yang namanya terdapat dalam penutupan naskah Pararaton. Seringkali nama Bhre Kertabhumi disebut Brawijaya V, sedangkan Kertawijaya disebut Brawijaya I. Identifikasi Kertawijaya dengan Brawijaya berdasarkan batu nisan putri Campa sangat-sangat bertentangan dengan prasasti Waringin Pitu (1447 M). Menurut prasasti tersebut, nama permaisuri Kertawijaya bukan Ratu Dwarawati, melainkan Jayeswari. Menurut kronik Cina dari kuil Sam Po Kong, putri China (anak Haji Bok Tak Keng – duta besar China untuk Champa) yang dimakamkan di Mojokerto bukan istri raja Majapahit, melainkan istri Ma Hong Fu, seorang duta besar Cina untuk Jawa.


Bhre Kertabhumi dalam Pararaton

Pararaton hanya menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit yang berakhir pada tahun 1478 Masehi (atau tahun 1400 Saka). Pada bagian penutupan naskah tersebut tertulis: Bhre Pandansalas menjadi Bhre Tumapel kemudian menjadi raja pada tahun Saka 1388 (1466 M), baru menjadi raja dua tahun lamanya kemudian pergi dari istana anak-anak Sang Sinagara yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi terhitung paman raja yang meninggal dalam istana tahun Saka 1400 (1478 M). Dengan demikian dapat diketahui bahwa Bhre Kertabhumi meninggal di istana pada tahun Saka 1400 (1478 M).

Kalimat penutupan Pararaton tersebut terkesan ambigu. Tidak jelas siapa yang pergi dari istana pada tahun Saka 1390, apakah Bhre Pandansalas ataukah anak-anak Sang Sinagara. Teori yang cukup populer menyebut Bhre Kertabhumi sebagai tokoh yang meninggal tahun 1400 Saka (1478 Masehi). Teori ini mendapat dukungan dengan ditemukannya naskah kronik Cina dari kuil Sam Po Kong Semarang yang menyebut nama Kung-ta-bu-mi sebagai raja Majapahit terakhir. Nama Kung-ta-bu-mi ini diperkirakan sebagai ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi.

Sementara itu dalam Serat Kanda disebutkan bahwa, Brawijaya adalah raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Raden Patah pada tahun Sirna ilang KERTA-ning BUMI, atau 1400 Saka. Atas dasar berita tersebut, tokoh Brawijaya pun dianggap identik dengan Bhre Kertabhumi atau Kung-ta-bu-mi. Perbedaannya ialah, Brawijaya (versi serat dan babad) memerintah dalam waktu yang sangat lama sedangkan pemerintahan Bhre Kertabhumi relatif singkat (1468 M - 1478 M).


Babad Tanah Jawi ini punya banyak versi.

Menurut ahli sejarah Hoesein Djajadiningrat, kalau mau disederhanakan, keragaman versi itu dapat dipilah menjadi dua kelompok. Pertama, babad yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III. Tulisan Braja ini lah yang kemudian diedarkan untuk umum pada 1788. Sementara kelompok kedua adalah babad yang diterbitkan oleh P. Adilangu II dengan naskah tertua bertarikh 1722.

Perbedaan keduanya terletak pada penceritaan sejarah Jawa Kuno sebelum munculnya cikal bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan. Sementara kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar.

Babad Tanah Jawi telah menyedot perhatian banyak ahli sejarah. Antara lain ahli sejarah HJ de Graaf. Menurutnya apa yang tertulis di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya cerita tentang peristiwa tahun 1600 sampai zaman Kartasura di abad 18. Demikian juga dengan peristiwa sejak tahun 1580 yang mengulas tentang kerajaan Pajang. Namun, untuk cerita selepas era itu, de Graaf tidak berani menyebutnya sebagai data sejarah : terlalu sarat campuran mitologi, kosmologi, dan dongeng.

Selain Graaf, Meinsma berada di daftar peminat Babad Tanah Jawi. Bahkan pada 1874 ia menerbitkan versi prosa yang dikerjakan oleh Kertapraja. Meinsma mendasarkan karyanya pada babad yang ditulis Carik Braja. Karya Meinsma ini lah yang banyak beredar hingga kini.

Balai Pustaka juga tak mau kalah. Menjelang Perang Dunia II mereka menerbitkan berpuluh-puluh jilid Babad Tanah Jawi dalam bentuk aslinya. Asli sesungguhnya karena dalam bentuk tembang dan tulisan Jawa.


Kung-ta-bu-mi dalam Kronik Cina

Naskah kronik Cina yang ditemukan dalam kuil Sam Po Kong di Semarang antara lain mengisahkan akhir Kerajaan Majapahit sampai berdirinya Kerajaan Pajang. Dikisahkan, raja terakhir Majapahit bernama Kung-ta-bu-mi. Salah satu putranya bernama Jin Bun yang dibesarkan oleh Swan Liong, putra Yang-wi-si-sa dari seorang selir Cina. Pada tahun 1478 Jin Bun menyerang Majapahit dan membawa Kung-ta-bu-mi secara hormat ke Bing-to-lo.

Kung-ta-bu-mi merupakan ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Jin Bun dari Bing-to-lo adalah Panembahan Jimbun alias Raden Patah dari Demak Bintara. Swan Liong identik dengan Arya Damar. Sedangkan Yang-wi-si-sa bisa berarti Hyang Wisesa alias Wikramawardhana, atau bisa pula Hyang Purwawisesa. Keduanya sama-sama pernah menjadi raja di Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, tokoh Arya Damar adalah anak Brawijaya dari seorang raksasa perempuan bernama Endang Sasmintapura. Jadi, Arya Damar adalah kakak tiri sekaligus ayah angkat Raden Patah. Menurut kronik Cina di atas, Raden Patah adalah putra Bhre Kertabhumi, sedangkan Swan Liong adalah putra Hyang Wisesa dari seorang selir berdarah Cina. Kisah ini terkesan lebih masuk akal daripada uraian-uraian dalam versi babad dan serat.

Selanjutnya dikisahkan pula, setelah kekalahan Kung-ta-bu-mi, Majapahit pun menjadi bawahan Demak. Bekas kerajaan besar ini kemudian diperintah oleh Nyoo Lay Wa, seorang Cina muslim sebagai bupati. Pada tahun 1486 Nyoo Lay Wa tewas karena unjuk rasa penduduk pribumi. Maka, Jin Bun pun mengangkat iparnya, yaitu Pa-bu-ta-la, menantu Kung-ta-bu-mi, sebagai bupati baru. Tokoh Pa-bu-ta-la identik dengan Prabhu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya dalam prasasti Jiyu 1486. Jadi, menurut berita Cina tersebut, Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya adalah saudara ipar sekaligus bupati bawahan Raden Patah. Dengan kata lain, Bhra Wijaya adalah menantu Bhre Kertabhumi menurut kronik Cina.

 
Kepustakaan  :

Babad Majapahit dan Para Wali (Jilid 3). 1989. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

Poesponegoro, M.D., Notosusanto, N. (editor utama). Sejarah Nasional Indonesia. Edisi ke-4. Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

Babad Tanah Jawi. 2007. (terjemahan). Yogyakarta: Narasi
 
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Enter your email address to get update from Info Blog.
Print PDF
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »

3 komentar

sy tertarik dg sejarah khususnya yg ada kaitanya dg kerajaan majapahit. sy akn menyimak terus ulasan2 anda semua terutama dri sdr. jerry wong.

Balas

Mohon anda membaca lebih banyak sumbernya.Khusus yg berhubuhngan Brawijaya V dgn permaisurinya yg katanya berasal dari Champa.......!

Balas

Pada jaman dahulu, seorang Raja bisa punya beberapa nama, seperti Prabu Siliwangi punya beberapa nama

Balas

Silahkan anda meninggalkan komentar demi kemajuan dan perkembangan blog ini, mohon jangan melakukan spam ..... (pasti akan terhapus secara otomatis)

Copyright © 2015. MAJAPAHIT 1478 - All Rights Reserved | Template Created by Info Blog Proudly powered by Blogger